Oleh: Arifatul Asri )*
Program tiga juta rumah yang dicanangkan pemerintah bukan sekadar proyek pembangunan fisik, melainkan representasi nyata dari semangat konstitusi dalam menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Inisiatif ini menjadi bagian penting dari pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Melalui program 3 juta rumah ini, pemerintah mengarahkan kebijakan sektoral agar berpihak kepada masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar berupa hunian yang layak dan terjangkau.
Komitmen pemerintah ini ditunjukkan secara tegas oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang menilai bahwa program tersebut harus didukung penuh oleh seluruh pemerintah daerah. Dalam konteks desentralisasi, sinergi antara pusat dan daerah menjadi elemen krusial untuk memastikan bahwa target tiga juta rumah benar-benar tercapai.
Tito menegaskan bahwa kewajiban kepala daerah untuk melaksanakan program strategis nasional telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, sehingga tidak ada alasan untuk mengabaikan kebijakan tersebut. Bahkan, regulasi dalam bentuk Instruksi Presiden dipandang perlu untuk memperkuat posisi hukum dari program ini, sekaligus mencegah multitafsir dalam pelaksanaannya.
Pemerintah daerah pun mulai menunjukkan langkah konkret dalam mendukung program tersebut. Hingga saat ini, sebanyak 492 dari 509 daerah telah menerbitkan regulasi pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pembebasan BPHTB ini menjadi bagian penting dari upaya mengurangi beban biaya kepemilikan rumah, sekaligus membuka akses yang lebih luas bagi kelompok rentan untuk memiliki tempat tinggal yang layak. Sisanya, sebanyak 17 daerah yang belum mengeluarkan regulasi serupa, tengah diimbau untuk segera menyusul demi memastikan program ini berjalan serentak dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, menegaskan bahwa penyediaan rumah bagi rakyat kecil tidak boleh terhambat oleh birokrasi yang berbelit. Ia mengedepankan efisiensi dan kolaborasi lintas sektor sebagai kunci utama percepatan program.
Menurutnya, kehadiran rumah tidak hanya menyentuh aspek fisik, tetapi menjadi simbol hadirnya negara dalam kehidupan rakyat. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk perbankan dan sektor swasta, menjadi krusial agar target pembangunan rumah dapat tercapai tepat waktu. Upaya Maruarar memperluas cakupan program juga mencerminkan semangat pemerataan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Selain kementerian teknis, peran lembaga pengelola pembiayaan juga sangat vital. Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho, menyampaikan bahwa tahun ini pihaknya bersama Kementerian PKP telah mengalokasikan 20.000 unit rumah subsidi untuk para buruh.
Unit-unit rumah tersebut tersebar di wilayah strategis seperti Batang, Pasuruan, Makassar, dan Palembang. Selain memperluas jangkauan penerima manfaat, kebijakan ini juga memberi dorongan terhadap pemerataan pembangunan di luar Pulau Jawa. Untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses rumah subsidi ini, fasilitas Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) disiapkan sebagai skema pembiayaan ringan dengan bunga terjangkau.
Langkah-langkah terintegrasi ini menunjukkan bahwa program tiga juta rumah dirancang secara sistematis dan menyeluruh. Pemerintah tidak hanya membangun rumah, tetapi juga menyiapkan seluruh ekosistem pendukung mulai dari pembiayaan, regulasi, hingga pelibatan aktif pemerintah daerah. Melalui pendekatan ini, negara hadir tidak hanya sebagai penyedia fasilitas, tetapi sebagai pelindung hak dasar rakyat atas tempat tinggal yang manusiawi.
Program ini juga menimbulkan efek positif di sektor lain seperti industri konstruksi, penyedia bahan bangunan, dan lapangan kerja lokal. Namun, yang lebih penting dari itu adalah dampaknya terhadap kualitas hidup masyarakat. Dengan memiliki rumah yang layak, masyarakat dapat hidup lebih stabil, sehat, dan produktif. Hal ini pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi mikro di berbagai daerah, sekaligus memperkuat fondasi kesejahteraan sosial secara nasional.
Program tiga juta rumah merupakan wujud nyata bagaimana kebijakan publik dapat menyatu dengan cita-cita keadilan sosial. Pemerintah memahami bahwa rumah adalah kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda, apalagi bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang selama ini terpinggirkan dari akses perumahan formal. Melalui langkah-langkah konkret yang telah dan akan terus diambil, pemerintah memberikan kepastian bahwa hak atas tempat tinggal bukanlah privilese segelintir orang, melainkan hak seluruh warga negara.
Komitmen yang ditunjukkan oleh Muhammad Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri, Maruarar Sirait sebagai Menteri PKP, dan Heru Pudyo Nugroho dari BP Tapera mempertegas bahwa program ini bukan sekadar janji kampanye, tetapi kebijakan nyata yang terukur dan berkelanjutan. Ketiganya mewakili sinergi antarpemangku kepentingan yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap rumah yang dibangun benar-benar menjadi rumah harapan bagi masa depan rakyat Indonesia.
Dengan strategi yang tepat, dukungan penuh dari pemerintah pusat dan daerah, serta keterlibatan semua elemen masyarakat, program ini akan menjadi pilar penting dalam mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Rumah bukan hanya tempat berlindung, tetapi titik awal bagi rakyat untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Dan melalui program ini, pemerintah menegaskan bahwa keadilan sosial bukan sekadar konsep, tetapi realitas yang terus diperjuangkan.
)* Pemerhati Kebijakan Publik