Oleh : Sugianto raharja )*
Stabilitas politik dan keamanan nasional merupakan pilar penting bagi keberlangsungan pembangunan. Dalam sistem demokrasi, kebebasan berekspresi dijamin, tetapi kebebasan itu memiliki batas: kepentingan bangsa yang lebih luas. Oleh karena itu, kehati-hatian dalam menyikapi manuver politik yang mengklaim mewakili institusi strategis negara, seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), menjadi keharusan. Baru-baru ini, polemik mencuat ketika sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai forum purnawirawan TNI menyuarakan tuntutan yang memicu kontroversi, termasuk wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Tuntutan tersebut perlu dilihat dengan jernih. Bukan karena isinya yang menggugah perhatian, melainkan karena klaim representasi yang tidak sah secara kelembagaan. Forum tersebut tidak berada dalam struktur organisasi resmi purnawirawan TNI. Pernyataan ini telah ditegaskan oleh Pelaksana Tugas Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD), Mayor Jenderal (Purn) Komaruddin Simanjuntak, yang menyatakan bahwa forum tersebut bukan bagian dari PPAD maupun organisasi purnawirawan lain yang diakui negara.
Pernyataan Komaruddin menjadi penting dalam menjaga kejelasan informasi dan mencegah terjadinya mispersepsi di tengah masyarakat. Forum-forum informal yang tidak berada dalam payung hukum yang sah tidak dapat dianggap mewakili suara kolektif purnawirawan TNI. PPAD, bersama PEPABRI, LVRI, PPAL, PPAU, PP Polri, dan PERIP, merupakan organisasi resmi yang menjadi corong aspirasi para purnawirawan. Dengan demikian, segala bentuk pernyataan dari luar struktur tersebut seharusnya dipandang sebagai pendapat personal atau kelompok terbatas, bukan sikap institusional.
Ketika publik menerima informasi yang menyebut bahwa “purnawirawan TNI menolak pemerintah” atau “purnawirawan menuntut pemakzulan”, yang terjadi bukan hanya kekacauan informasi, tetapi juga pengaburan fakta. Kredibilitas TNI sebagai institusi pertahanan yang netral dan profesional dapat terseret ke dalam pusaran politik praktis jika misrepresentasi seperti ini tidak diluruskan. Hal ini berbahaya karena bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap netralitas militer, memecah soliditas prajurit aktif dan purnawirawan, serta membuka celah bagi aktor eksternal memanfaatkan situasi untuk kepentingan sektoral.
Dalam konteks pertahanan negara, moral dan keutuhan pasukan sangat dipengaruhi oleh stabilitas psikologis publik. Ketika ada informasi yang menyiratkan disharmoni dalam keluarga besar TNI, maka ketahanan nasional pun terancam. Untuk itu, upaya pelurusan informasi menjadi bagian integral dari pertahanan non-militer. Komaruddin secara jelas menyampaikan bahwa purnawirawan sejati tetap setia pada Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan Wajib TNI, termasuk ketika tidak lagi aktif berdinas. Pengabdian mereka tidak boleh berubah menjadi kendaraan politik yang memecah belah bangsa.
Sikap purnawirawan yang tergabung dalam organisasi resmi bahkan menunjukkan sebaliknya: dukungan terhadap jalannya pemerintahan konstitusional dan keinginan agar program pembangunan, termasuk Asta Cita yang diusung Prabowo-Gibran, bisa berjalan dengan lancar. Pernyataan bersama yang disampaikan organisasi resmi purnawirawan menunjukkan sikap dewasa, konstruktif, dan berpihak pada stabilitas nasional. Di saat yang sama, mereka tetap kritis dalam menyuarakan aspirasi melalui saluran yang sah dan bermartabat.
Wacana pemakzulan Wapres Gibran yang disuarakan oleh forum tidak resmi merupakan bentuk provokasi yang tidak memiliki dasar hukum kuat. Pemakzulan hanya dapat dilakukan jika terdapat pelanggaran serius terhadap konstitusi, melalui proses panjang yang melibatkan DPR dan Mahkamah Konstitusi. Tanpa dasar yuridis yang valid, seruan tersebut hanya menciptakan kebisingan politik dan memicu ketegangan yang tidak perlu. Negara membutuhkan suasana tenang untuk membangun, bukan terbelah oleh tuntutan-tuntutan yang digerakkan oleh asumsi, bukan bukti.
Kepemimpinan politik sipil-militer harus dijaga kehormatannya. Pemerintahan hasil pemilu yang sah tidak boleh dilemahkan oleh narasi-narasi yang tidak berdasar. Justru sebaliknya, para purnawirawan yang memiliki pengalaman panjang dalam menjaga keutuhan bangsa seharusnya menjadi pilar penyejuk, bukan pemantik disintegrasi. Langkah bijak yang bisa diambil adalah menyampaikan kritik atau keberatan melalui forum resmi, seperti audiensi dengan Dewan Pertimbangan Presiden atau melalui dialog dengan lembaga legislatif.
Selain itu, media massa perlu memainkan peran penting dalam menyaring informasi dan memastikan bahwa narasumber yang diangkat benar-benar memiliki kapasitas representatif. Tidak semua yang berbicara atas nama TNI atau purnawirawan benar-benar berhak membawa nama besar institusi. Verifikasi adalah kunci agar ruang publik tidak dikotori oleh hoaks atau klaim sepihak yang menyesatkan. Masyarakat pun perlu lebih cermat dalam memilah informasi, terutama jika menyangkut isu sensitif seperti pertahanan dan keamanan.
Sebagai negara demokratis, Indonesia menghormati kebebasan berbicara. Namun, demokrasi juga menuntut tanggung jawab untuk menjaga suasana kebangsaan yang kondusif. Forum-forum informal yang mencoba mengambil legitimasi institusi negara harus diwaspadai, bukan diberi panggung berlebihan. Klarifikasi dari PPAD dan organisasi resmi lainnya harus menjadi rujukan dalam menilai keabsahan suatu klaim.
Pada akhirnya, menjaga netralitas dan kehormatan TNI adalah bagian dari menjaga ketahanan bangsa. Purnawirawan yang sejati tidak akan membiarkan nama baik institusi ternoda oleh manuver politik sesaat. Dukungan terhadap pemerintah yang sah, melalui cara yang santun dan konstitusional, merupakan bentuk pengabdian yang sebenarnya—yang tidak hanya menghormati masa lalu, tetapi juga melindungi masa depan.
)* Penulis merupakan Pengamat Isu Strategis