Oleh Tantri Aulia Yusman )*
Demonstrasi sebagai bentuk penyampaian aspirasi publik merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam sistem demokrasi. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktiknya, aksi-aksi demonstrasi kerap kali dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politik jangka pendek. Rencana aksi demonstrasi pengemudi transportasi daring pada 20 Mei 2025 menjadi sorotan, bukan semata karena tuntutan yang disuarakan, tetapi karena kekhawatiran akan adanya infiltrasi kepentingan politik yang berpotensi merugikan para pengemudi itu sendiri dan masyarakat luas.
Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (Oraski) secara tegas menyatakan penolakan untuk terlibat dalam aksi tersebut. Mereka menilai bahwa substansi dari aksi ini tidak lagi murni berasal dari kepentingan pengemudi, melainkan telah bercampur dengan agenda politik tertentu. Ketua Umum Oraski, Fahmi Maharaja, menyampaikan bahwa sebagian besar mitra pengemudi justru memilih tetap bekerja dan fokus memenuhi kebutuhan keluarga ketimbang terseret dalam gerakan yang sarat muatan politis. Pernyataan ini mencerminkan sikap rasional dan kehati-hatian dalam menjaga stabilitas mata pencaharian para pengemudi, terutama di tengah situasi ekonomi yang masih rentan.
Menurut Fahmi, kesejahteraan pengemudi mestinya diperjuangkan melalui pendekatan yang konstruktif dan rasional, seperti dialog dan advokasi kebijakan, bukan melalui tekanan massa yang bisa merusak ekosistem transportasi daring yang selama ini telah terbentuk dengan baik. Kehadiran platform digital sebagai medium kerja bagi jutaan pengemudi online memerlukan kestabilan, baik dari sisi teknologi maupun sosial. Gangguan dalam bentuk demonstrasi massal dapat menimbulkan ketidaknyamanan, tidak hanya bagi penyedia layanan, tetapi juga bagi pengguna dan mitra pengemudi lainnya yang tidak terlibat.
Senada dengan hal tersebut, Pengurus Pusat Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (APTIKNAS) sekaligus dosen kebijakan publik, Imam Rozikin, mengingatkan bahwa dalam kondisi ekonomi pasca pandemi dan tekanan global, aksi demonstrasi justru lebih berpotensi menimbulkan kerugian dibandingkan manfaat strategis. Ia menyoroti bahwa 20 Mei jatuh pada hari kerja dengan tingkat mobilitas warga yang tinggi. Momentum ini justru bisa dimanfaatkan para pengemudi untuk meningkatkan pendapatan mereka. Kehilangan kesempatan tersebut demi sebuah aksi yang tidak menjanjikan solusi konkret adalah langkah yang kontraproduktif.
Selain itu, Imam menekankan adanya risiko nyata yang bisa dialami pengemudi bila terlibat dalam demonstrasi. Potensi kehilangan penghasilan harian, kerusakan kendaraan akibat kericuhan, hingga sanksi dari perusahaan aplikasi adalah dampak langsung yang bisa terjadi. Tidak kalah penting adalah risiko rekam digital negatif yang bisa memengaruhi status kemitraan mereka di masa depan. Dalam dunia kerja berbasis platform, performa harian menentukan kelangsungan pendapatan. Aksi turun ke jalan bisa berarti hilangnya bonus, insentif, bahkan akun bisa disuspend. Ini kerugian nyata yang harus dipertimbangkan dengan matang.
Lebih dari itu, demonstrasi seringkali dijadikan alat mobilisasi oleh segelintir elit politik untuk membangun citra atau mengangkat popularitas, bukan untuk menyelesaikan akar masalah. Imam mengingatkan bahwa para pengemudi perlu lebih jeli membaca arah gerakan dan tidak terjebak dalam euforia massa yang tidak berpihak pada kesejahteraan mereka. Ketika aksi berujung kericuhan atau anarki, mereka yang menginisiasi tidak akan turut menanggung akibatnya. Justru para pengemudi yang berada di garis depan akan menjadi korban, baik secara fisik, ekonomi, maupun sosial.
Dampak dari demonstrasi juga tidak berhenti pada individu pengemudi. Efeknya meluas ke masyarakat umum. Macet di pusat kota, terganggunya transportasi publik, dan hambatan terhadap layanan darurat adalah konsekuensi nyata dari aksi massa. Dalam sistem mobilitas perkotaan seperti Jakarta, satu titik aksi bisa berdampak pada lima simpul mobilitas lainnya. Ketika ruang publik digunakan sebagai arena protes yang berlebihan, maka yang terjadi bukan lagi kebebasan berekspresi, melainkan gangguan terhadap ketertiban umum.
Dalam hal ini, aparat kepolisian pun mengambil langkah antisipatif. Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, AKBP Argo Wiyono, menyatakan bahwa pihaknya akan menyiapkan rekayasa lalu lintas secara situasional, mempertimbangkan eskalasi massa yang hadir. Langkah ini penting untuk menjaga agar aktivitas warga tetap berjalan dan menghindari potensi chaos di lapangan. Namun demikian, upaya preventif ini tidak akan cukup bila tidak didukung kesadaran kolektif untuk menolak aksi-aksi yang berpotensi dimanipulasi oleh kepentingan tertentu.
Pada akhirnya, perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan harus ditempuh dengan cara yang cerdas, strategis, dan tidak merugikan pihak manapun. Para pengemudi transportasi daring sejatinya memiliki posisi penting dalam rantai mobilitas masyarakat modern. Menjaga stabilitas kerja mereka merupakan bagian dari menjaga stabilitas sosial dan ekonomi secara keseluruhan. Menolak aksi yang tidak produktif bukan berarti menolak perubahan, melainkan justru bentuk keberanian untuk tidak dimanfaatkan oleh agenda yang tidak berpihak pada kepentingan bersama.
Kesadaran ini perlu terus disuarakan. Bahwa di tengah derasnya arus politisasi ruang publik, masyarakat harus tetap berpikir jernih, rasional, dan mengedepankan kepentingan jangka panjang. Langkah-langkah konstruktif seperti dialog, advokasi kebijakan, serta partisipasi aktif dalam sistem demokrasi yang sehat adalah jalan yang lebih menjanjikan untuk memperjuangkan perubahan yang berkelanjutan.
)* penulis merupakan pengamat kebijakan publik