Generasi Muda Harus Jadi Benteng Lawan Intoleransi

Jakarta – Di tengah dinamika sosial yang semakin kompleks, tantangan besar yang kini dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah meningkatnya gejala intoleransi di berbagai lapisan masyarakat. Kondisi ini menjadi peringatan serius bagi masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengingat Indonesia dibangun di atas pondasi kebhinekaan, toleransi, dan persatuan. Intoleransi sering kali tumbuh subur di tengah ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman terhadap keberagaman.

Selain itu, perkembangan teknologi dan media sosial yang sangat pesat saat ini memberikan peluang sekaligus tantangan besar. Di satu sisi, media sosial dapat menjadi sarana efektif untuk menyuarakan nilai-nilai toleransi dan menyebarkan narasi positif tentang keberagaman. Namun di sisi lain, platform digital juga menjadi lahan subur bagi penyebaran ujaran kebencian, hoaks, dan propaganda intoleran yang kerap kali menyesatkan publik.

Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat mengatakan di era perkembangan teknologi yang cepat, tantangan generasi muda saat ini berupa disinformasi dan hoaks yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa.

“Tantangan tersebut muncul karena saat ini terjadi kesenjangan antara tingkat pengetahuan masyarakat dan perkembangan teknologi informasi yang cepat. Maka asahlah terus kemampuan yang kita miliki agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi,” kata Lestari

Di sinilah perlunya kesadaran digital di kalangan generasi muda. Literasi digital menjadi bekal penting agar mereka mampu memilah informasi secara kritis dan bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial. Generasi muda harus menjadi pengguna aktif yang cerdas, yang tidak hanya menyerap informasi, tetapi juga mampu mengedukasi lingkungan sekitarnya.

Tidak kalah penting adalah peran institusi pendidikan, baik formal maupun informal. Sekolah dan kampus harus menjadi ruang yang aman dan kondusif bagi tumbuhnya semangat toleransi. Kurikulum pendidikan perlu diarahkan untuk tidak hanya menekankan aspek akademik, tetapi juga membangun karakter, empati, dan nilai-nilai sosial yang positif.

Intoleransi dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk, seperti diskriminasi, prasangka, atau kekerasan terhadap individu atau kelompok yang berbeda. Untuk mengatasi intoleransi, Kementerian Agama Republik Indonesia tengah menggagas Kurikulum Cinta, sebuah inisiatif pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa sejak usia dini.

Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno mengungkapkan bahwa pendidikan karakter di Indonesia membutuhkan inovasi yang lebih mendalam, salah satunya melalui pendekatan yang lebih integratif dan sistematis dalam kurikulum.

”Kurikulum Cinta tidak diperkenalkan sebagai mata pelajaran baru, melainkan akan diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran yang sudah ada.” Ujar Amien***

Array
Related posts
Tutup
Tutup